"Amburadul, acak-acakan, dan tanpa konsep jelas."
Tepat hari ini, Minggu, 16 Oktober 2011, kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia di bawah Djohar Arifin Husin memasuki 100 hari.
Seratus hari pertama yang seharusnya diisi banyak gebrakan untuk memperbaiki kinerja PSSI ini justru dipenuhi kontroversi. Bahkan bibit perpecahan di kalangan anggota PSSI, yang mengingatkan orang pada masa akhir kepemimpinan Nurdin Halid, juga terjadi.
Djohar terpilih menjadi ketua umum periode 2011-2015 dalam kongres luar biasa di Solo pada 9 Juli 2011. Kemenangannya sempat dilabeli sebagai kemenangan reformasi sepak bola. Juga dianggap menjanjikan kondisi lebih baik dibanding kepemimpinan Nurdin Halid, yang kerap diwarnai pelanggaran Statuta PSSI.
Nyatanya, baru seumur jagung, tudingan "melanggar Statuta PSSI" kini juga sudah terdengar menimpa kubu Djohar. "Banyak kebijakan pengurus PSSI baru yang justru menabrak Statuta PSSI," kata manajer klub Pelita Jaya, Lalu Mara Satria Wangsa.
Lalu Mara menunjuk keputusan PSSI untuk menggelar kompetisi berisi 24 klub dengan menyertakan enam klub tambahan, yang antara lain dipilih karena punya dukungan suporter banyak dan punya nilai sejarah. "Untuk ukuran kompetisi tertinggi, alasan itu tidak bisa dipakai. Klub profesional harus jelas promosi dan degradasinya. Tidak bisa dipelintir," katanya.
Di tengah tudingan itu, PSSI beranggapan tak ada pasal statuta yang ditabrak. Dalam berbagai kesempatan, Sihar Sitorus, anggota Komite Eksekutif yang juga Ketua Komite Kompetisi PSSI, menegaskan bahwa Pasal 23 ayat 1 Statuta PSSI, yang dianggap telah dilanggar pengurus baru, hanya mengatur soal peserta kongres, yakni 18 suara. Pasal 37 Statuta justru menyatakan Komite Eksekutif berhak menentukan waktu dan peserta kompetisi.
Tetap saja, dengan mengesampingkan soal statuta itu, kompetisi dengan jumlah peserta 24 tim masih mendapat kritik. Andi Darussalam Tabusalla, mantan Direktur Badan Liga Indonesia, menilainya terlalu gemuk. "Dengan 24 klub, apa mereka tidak memperhitungkan kapan harus pre-match, kapan kompetisi tingkat Asia AFC berlangsung?" ujarnya.
Dengan peserta 24 klub, berarti setiap klub harus berlaga sebanyak 46 kali dalam satu musim. Padahal, jika merujuk pada kalender badan sepak bola dunia, FIFA, satu musim kompetisi sebaiknya selesai dalam 9-10 bulan. Untuk mengejar waktu itu, kini klub terpaksa harus bermain dua kali dalam satu pekan agar Indonesia tak ketinggalan jadwal kompetisi Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).
Andi melihat gonta-ganti keputusan soal kompetisi dalam waktu singkat menunjukkan para pengurus baru tak profesional. "Kalau punya konsep tidak akan begitu," katanya.
Kritik soal kompetisi juga datang dari para anggota PSSI. Sebanyak 12 klub sudah sepakat menolak rencana kompetisi baru itu. Mereka bahkan siap menggelar kompetisi tandingan di bawah payung PT Liga Indonesia, yang musim lalu menggulirkan Liga Super Indonesia. Ke-12 klub itu adalah Persebaya Surabaya (versi Wisnu Wardhana), Persipura Jayapura, Persisam, Persiwa Wamena, PSPS Pekanbaru, Deltras Sidoarjo, Persidafon Dafonsoro, Pelita Jaya, Persiba Balikpapan, Persela Lamongan, Sriwijaya FC, dan Mitra Kukar.
Persoalan kompetisi hanya satu dari persoalan yang muncul dalam 100 hari pertama kepemimpinan Djohar di PSSI. Sebelumnya, ada soal penggantian pelatih tim nasional Alfred Riedl dengan Wim Rijsbergen. Riedl, yang dipuja para suporter, terkesan didepak dengan alasan dicari-cari semata karena ia adalah peninggalan rezim lama.
Mantan anggota Komite Normalisasi, Hadi Rudyatmo, melihat pergantian pelatih itu menjadi salah satu penyebab penampilan tim nasional merosot. "Hasil tiga kali main tanpa bisa mendapat satu pun poin di Pra-Piala Dunia 2014 menjadi buktinya," katanya.
Selain itu, persoalan hak siar kompetisi juga menyisakan buntut panjang. Kontrak stasiun televisi ANTV, yang sudah menjalin kontrak dengan PSSI untuk hak siar selama 10 tahun, diputus begitu saja dan diganti oleh Grup MNC.
Hadi menilai sederet masalah itu menjadi pemandangan memprihatinkan. "Kinerja PSSI baru selama 100 hari ini amburadul, acak-acakan, tanpa konsep jelas," kata Wakil Wali Kota Solo itu.
Sejumlah suporter juga mengkritik kinerja PSSI baru. Sekretaris Umum The Jakmania (suporter Persija), Richard Achmad, menilai banyak kebijakan PSSI yang membingungkan. "Melontarkan gagasan kompetisi dua wilayah ternyata tidak jadi, tadinya 18 klub jadi 24 klub, aturan kepemilikan saham juga belum jelas," kata Richard.
Perwakilan suporter Pasopati Solo, Suprapto, menilai ketidakjelasan kompetisi terjadi karena pengurus PSSI baru lebih mementingkan kepentingan kelompoknya saja. Mereka enggan merangkul kelompok status quo yang selama ini berseberangan. "Suporter tidak mendukung kelompok mana pun, yang kami dukung sepak bola nasional agar bisa maju," katanya.
Sekretaris Jenderal PSSI Tri Goestoro mengatakan pengurus baru mempunyai banyak pekerjaan rumah peninggalan pengurus lama. "Itu luar biasa banyaknya dan harus segera diselesaikan semuanya," kata Tri. Salah satu dampaknya adalah molornya penyelenggaraan kompetisi. "Kami juga inginnya cepat, tapi harus ada pemetaan dulu dan verifikasi dari tim AFC." Apalagi, dia melanjutkan, Komite Eksekutif PSSI memutuskan klub peserta kompetisi ditambah menjadi 24 tim.
Tri mengaku maklum jika masyarakat pencinta sepak bola kecewa atas kinerja pengurus PSSI selama 100 hari ini. "Kami telah bekerja maksimal. Kami siap dikritik," katanya.
Pengamat sepak bola dan politik dari Universitas Diponegoro, Ari Junaedi, berpendapat Djohar harus bersikap tegas dalam memimpin PSSI. "Jangan mementingkan kelompok, harus berjuang demi PSSI," ujarnya. Menurut Ari, kinerja kepengurusan Djohar dalam 100 hari nilainya tak lebih dari 50 dalam skala 100 atau hanya D untuk skala nilai A-E. l RINA WIDIASTUTI
Langkah-langkah Kontroversial Djohar Arifin Husin cs
1. Pemecatan Alfred Riedl
Pelatih yang tampil apik di Piala AFF 2010 itu dipecat tanpa alasan yang jelas. Padahal rasa cinta suporter kembali menggelora saat tim nasional dia tangani. Pengganti Riedl, Wim Rijsbergen, hingga kini belum mampu memberikan kemenangan dalam tiga laga Pra-Piala Dunia.
2. Kompetisi
Awalnya kompetisi akan digelar dua wilayah dengan 32 peserta. Alasannya, wilayah Indonesia terlalu luas sehingga perlu pembagian wilayah untuk penghematan biaya. Rencana ini dibatalkan karena melanggar statuta. Rencana diubah dengan kompetisi satu wilayah dengan 18 klub. Statuta PSSI memang mengatur demikian. Tapi beberapa hari kemudian keputusan itu diubah: kompetisi tetap satu wilayah dan diikuti 24 klub. Masalahnya ada enam klub tambahan, termasuk klub yang sudah dicopot keanggotaannya karena mengikuti Liga Primer Indonesia, yakni Persema Malang, Persibo Bojonegoro, dan Persebaya Surabaya. Selain itu, ada PSMS Medan, yang dimasukkan dengan alasan sejarah dan dukungan suporter.
3. Hak Siar
ANTV, yang dikontrak PSSI selama 10 tahun pada era Nurdin Halid, langsung diputus kontraknya. Kini siaran langsung menjadi milik MNC Group.
4. Kepengurusan PSSI yang Gemuk
Djohar sempat menjanjikan kepengurusan yang ramping agar lebih efektif. Nyatanya kepengurusan PSSI saat ini lebih gemuk ketimbang era Nurdin Halid.